JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menghapus diskriminasi yang tercantum dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tahun 1967 mengenai penggunaan istilah ”Tjina” menggantikan istilah Tionghoa dan Tiongkok. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengembalikan penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa yang sebelumnya digunakan dalam UUD 1945 pada era Soekarno.
”Ini merupakan langkah positif penghapusan diskriminasi yang diformalkan negara hasil seminar TNI AD tahun 1966. Jangan dilupakan ketika itu terjadi Perang Dingin. Pemerintahan Orde Baru yang dekat dengan Amerika Serikat menghasilkan keputusan tersebut. Yang menjadi korban adalah seluruh Indonesia yang semakin terpecah belah,” tutur Ketua Pendiri Yayasan Nation Building (Nabil) Eddie Lembong, di Jakarta, Rabu (19/3).
Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2014 yang ditandatangani 12 Maret 2014 itu merupakan salah satu langkah maju penghapusan diskriminasi dan politik adu domba penguasa. Eddie menginisiasi upaya penghapusan diskriminasi Surat Edaran Presidium Ampera tersebut dengan menyampaikannya kepada pengusaha Murdaya Poo yang menyelenggarakan acara Capgomeh Nasional untuk disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam pertimbangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, Surat Presidium Kabinet Ampera mengganti istilah ”Tionghoa” dan ”Tiongkok” dalam korespondensi resmi kenegaraan dengan istilah ”Tjina” telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam relasi sosial bangsa Indonesia.
”Saat ini penggunaan istilah China dalam hubungan sehari-hari sebetulnya sudah lazim terjadi. Yang lebih penting dari penghapusan diskriminasi formal ini adalah membangun hubungan sosial yang semakin erat di antara semua komponen bangsa Indonesia. Kita tidak melulu bicara soal peranakan Tionghoa di Indonesia karena diskriminasi menghasilkan jurang yang semakin lebar di antara seluruh anak bangsa. Orang Tionghoa sebagai bagian utuh bangsa Indonesia harus lebih aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan berbakti buat sesama,” ujar Eddie.
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, memuji langkah terobosan Presiden Yudhoyono dalam menghapus diskriminasi yang diformalkan negara. ”Bisa saja ini dikaitkan untuk memperoleh simpati menjelang Pemilu 2014. Namun, Keppres No 12/2014 itu merupakan pengakuan terhadap kesalahan kebijakan politik masa lalu. Pelarangan Orde Baru untuk menggunakan istilah Tionghoa dan Tiongkok tidak ada kaitan dengan rasa inferior atau superior satu golongan kepada golongan lain. Keppres tersebut menghapus stigma dan diskriminasi terhadap Tionghoa,” kata Asvi. (Ong)
sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005552520
Kompas, Kamis, 20 Maret 2014