Istilah ”Cina”, ”China” dan ”Tionghoa”: Tinjauan Historis dan Masalah Penggunaannya Dewasa Ini
Eddie Lembong
(Ketua Pendiri Yayasan Nabil)
Salah satu hal yang masih menjadi bahan perdebatan hingga hari ini adalah soal penggunaan istilah "Cina", "China" dan "Tionghoa". Penggunaan ketiga istilah tersebut di masyarakat masih menimbulkan kebingungan, karena tidak adanya standar yang baku. Atas dasar latar belakang tersebut di atas maka kami mencoba menyusun suatu paparan yang sistematis, mengenai latar belakang historis dan masalah pemakaian ketiga istilah tersebut dewasa ini.
Istilah "Cina", "China" dan "Tionghoa"
Dari manakah asal kata "cina" dan dari bahasa apa? Seorang Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami, menjelaskan bahwa kata "Cina" (Inggris : China; Belanda : China/Chinees; Jerman : Chinesische dan Perancis : Chinois) berasal dari bahasa Sansekerta "china", yang berarti "Daerah yang sangat jauh". Kata tersebut sudah berada di dalam buku Mahabharata sekitar 1400 tahun sebelum Masehi. Kemudian kata "china" menyebar dari Asia ke Eropa dengan mengalami penyesuaian fonologis. Penjelajah ternama, Marco Polo menyebutnya "chin" dan kemudian disebut oleh Barbosa (1516) dan Gracia de Orta (1563) dengan "china". Kemudian Istilah "Cina" atau yang mirip dengan itu dibawa/diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke 16. Dengan latar belakang demikian, secara tegas Prof. Wang Gungwu, seorang pakar sejarah "Chinese Overseas", dalam sebuah konferensi beberapa tahun silam yang kami hadiri, menggarisbawahi, bahwa orang-orang Tionghoa sendiri tidak mengenal, apalagi menggunakan istilah "Cina/China".
Mula-mula masyarakat di Nusantara menggunakan istilah "Cina" tanpa konotasi buruk. Akan tetapi dengan makin "berhasilnya" penerapan politik "Divide et Impera" oleh kolonialisme Belanda, hubungan Tionghoa-penduduk setempat yang dulunya selalu baik, berangsur-angsur memburuk. Dalam sentimen yang emosional, istilah "Cina" sering diucapkan dengan "aksen" yang penuh rasa kebencian. Sebagai akibatnya, sekelompok kaum terdidik merasakan perlunya istilah lain untuk menyebut diri mereka. Di Batavia tahun 1900 didirikanlah organisasi modern Tionghoa yang pertama di Indonesia. Mereka memakai nama "Tiong Hoa Hwee Koan" (Perhimpunan Kaum Tionghoa). Inilah pertama kalinya istilah "Tionghoa" yang berasal dari bahasa Hokkian, secara resmi digunakan. Unsur terbesar dalam komunitas Tionghoa berbahasa Melayu berasal dari keturunan perantau Hokkian. Hal ini menjelaskan mengapa istilah Hokkian tersebut yang dipilih. Pelahan-lahan istilah tersebut semakin populer di kalangan orang Tionghoa (yang berlatar belakang dialek yang beragam) dan masyarakat Hindia Belanda pada umumnya.
Di sekitar dekade 1920-an, koran Melayu Tionghoa terbesar, Sin Po mempelopori penggunaan istilah "INDONESIA" sebagai ganti istilah "INLANDER" yang merendahkan masyarakat Nederlands Indi" (Hindia Belanda). Kemudian ada semacam "gentleman agreement" antara para pemuka "Kaum Pergerakan" dengan Sin Po yang mewakili masyarakat Tionghoa, untuk tidak lagi menggunakan istilah "Cina" yang berkonotasi menghina, penuh dengan rasa kebencian itu, dan diganti dengan sebutan "Tionghoa". Di pihak lain, pemerintah kolonial Belanda di tahun 1928 mengakui pemakaian istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok" bagi hal-hal yang bersifat resmi. Itulah sebabnya dokumen-dokumen historis seperti misalnya Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), dua badan yang beranggotakan para founding fathers, serta Undang-undang Dasar 1945, semua menggunakan istilah "Tionghoa" dan bukan "Cina".
Pada masa sengit-sengitnya PERANG DINGIN, khususnya setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965, Seminar ke II AD di Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966 mengusulkan penggantian sebutan "Republik Rakjat Tiongkok" dan warga-negaranya, menjadi "Republik Rakjat Tjina" dan "warga negara Tjina", dengan alasan
"Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian jang telah lazim terdapat dimana-mana, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, dan dalam berbagai bahasa, sebagai sebutan bagi Negara dan Warga-Negara jang bersangkutan, tetapi terutama untuk menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknja menghilangkan rasa superior pada golongan jang bersangkutan di dalam Negara kita"
Hal ini kemudian dituangkan kedalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 (lihat lampiran). Menurut sumber intern yang mengetahui, sebenarnya maksud edaran ini hanya ditujukan/dialamatkan ke Negara RRT dan orang-orang Tionghoa Asing. Sedang untuk WNI keturunan Tionghoa, sebutan "Keturunan Tionghoa" itu tetap dipertahankan, tidak diubah. Namun karena tingginya emosi/sentimen anti RRT setelah G30S, penggunaan istilah "Cina" meluber dan membanjiri semua orang-orang, termasuk WNI keturunan Tionghoa. Menurut Coppel dan Suryadinata, semenjak minggu pertama September 1966 hampir semua surat kabar beralih dari penggunaan istilah "Tionghoa" ke "Cina". Penyebutan ini muncul hingga di masa Reformasi, bahkan sampai kini pun masih menjadi topik yang belum selesai diperdebatkan.
Yang menarik, selain dua istilah yang sudah ada, dewasa ini muncul istilah baru "China", yang dilafalkan ke dalam bahasa Indonesia "Caina". Walaupun istilah ini masih belum diterima secara penuh, namun sebagian kalangan mengadopsinya, baik dalam tulisan maupun ucapan, karena dianggap sebagai jalan tengah yang "netral" dan tidak menghina. Sedangkan pihak yang tidak setuju, menganggap istilah ini tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.
Tidak Perlu Dipertentangkan
Dengan memperhatikan semua hal-hal tersebut diatas, dan dengan menyadari, bahwa kini banyak orang yang tanpa bermaksud buruk dalam memakai istilah "Cina", maka penggunaan istilah tersebut tidaklah perlu untuk kita pertentangkan. Akan tetapi masalahnya ada pada surat edaran Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967, yang nyata-nyata mempunyai dampak dan pengaruh :menghasut" untuk membenci sebuah negara asing ataupun masyarakatnya, ataupun yang mengenai siapa saja yang terkait. Maka dengan telah berakhirnya "Perang Dingin" serta makin menjadi jelasnya "duduk perkara: di sekitar soal itu, kami berpendapat betapa indahnya kalau Pemerintah menyadari, bahwa sudah waktunya untuk secara resmi mencabut/membatalkan surat edaran itu.
Bagaimana selanjutnya kebijakan masyarakat dalam penggunaan istilah-istilah itu, tidaklah perlu kita pertentangkan. Menarik untuk direnungkan pemikiran Laksamana Madya Sumitro, seorang purnawirawan perwira tinggi TNI AL yang ikut bergabung dengan PARTI (Partai ReformasiTionghoa Indonesia) :
"Bukankah merupakan perintah Allah SWT pula bahwa janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka lebih baik, dan jangan pula kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk...... (Al Quran surat Al-Hujuurat-11). Sepanjang pengetahuan saya tidak ada satu pun perkumpulan atau organisasi kelompok etnis Tionghoa di Indonesia ini menggunakan sebutan Cina, semua menggunakan sebutan Tionghoa. Ini menunjukkan bahwa saudara saya sebangsa dari etnis Tionghoa lebih memilih dan menyukai sebutan Tionghoa. Alangkah naifnya diri saya kalau merasakan dan mengetahui hal ini, masih juga saya menggunakan sebutan Cina. Saya tidak ingin menjadi naif dalam hal apa pun, biarlah orang lain.
Tulisan ini diakhiri dengan pesan, terserah kepada pengertian dan itikad baik masing-masing pihak, dengan memperhatikan semua hal-hal tersebut di atas.
Jakarta, Februari 2011