Oleh Yudhi Hari Wibowo
LATAR BELAKANG
Di era Globalisasi dewasa ini banyak kalangan cendikiawan yang meramalkan bahwa ada kecenderungan keberlangsungan dan eksistensi Negara Kebangsaan akan mendapatkan tantangan yang cukup serius , sehingga memerlukan perhatian lebih dari semua elemen anak bangsa. Apabila segenap elemen anak bangsa tidak memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini maka ada kemungkinan bahwa Negara Kebangsaan itu akan mengalami kemunduran dan krisis kebangsaan yang kronis sehingga tidak menutup kemungkinan akan mengalami kehancuran . Banyak contoh yang dapat dikemukan di sini misalnya kasus yang terjadi di Negara-negara Balkan yang tercerai berai dan menjadi Negara kecil-kecil dengan identitas negara berdasarkan sentiment Primordial.
Bangsa Indonesia yang merdeka lebih dari enam puluh tujuh tahun lamanya sebenarnya juga menghadapi krisis kebangsaan yang sangat serius karena persoalan kenegaraan dan kebangsaan tidak terkelola dengan baik sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 yaitu untuk mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Alih-alih untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia, elemen anak bangsa agaknya justru sibuk dengan perebutan kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa. Para Elite negeri ini tidak bosan-bosannya bertikai untuk memperebutkan kekuasaan dengan menghalakan semua cara demi meraih kekuasaan sehingga persoalan kenegaraan dan kebangsaan serta kesejahteraan yang seharusnya kita hayati bersama menjadi terdistorsi bahkan terkesan ada pembiaran terhadap berbagi persoalan yang terus mendera negeri ini. Sebagai contoh konflik horizontal yang terjadi setelah adanya Reformasi skalanya makin masif dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Konflik Ambon, Poso, Lampung, Papua, Bima, Sampit , Sampang hanyalah sebagian kecil konflik horizontal yang tidak diselesesaikan dengan tuntas sehingga bila ada letupan kecil saja eskalasi konflik dengan cepat akan membesar.
Di samping itu masalah di atas juga menunjukan adanya ketidak dewasaan sebagian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Derivasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini juga semakin menunjukan kerancuan derivative, artinya penjabaran secara âdas seinâ di dalam masyarakat secara obyektif menimbulkan berbagai kerancuan dan nampak dalam derivasi normative yuridis belum menunjukan esensi Negara yang berdasarkan pada Pancasila. Pada kenyataannya kita lebih bersifat Ambigu dan mendekotomikan berbagai persoalan secara hitam putih.
Globalisasi tidak mungkin dihentikan dan akan terus menyebar ke seluruh penjuru dunia menjangkau semua sendi-sendi kehidupan masyarakat , termasuk masyarakat Indonesia. Globalisasi bagaikan virus yang terus akan menyebar ke segenap kehidupan masyarakat, masalahnya akankan kita telah siap dengan Globalisasi. Siap tidak siap Globalisasi harus kita terima dan sudah seharusnya kita sikapi sebagai tantangan yang mendorong semangat kebersaman sesama akan bangsa. Adalah Ulrich Beck (1998) yang mengatakan bahwa Globalisasi akan berpengaruh terhadap relasi-relasi antar Negara dan antar bangsa di dunia yang akan mengalami âdeteritorialisasiâ. Konsekuensinya berbagai kejadian yang terjadi di berbagai penjuru dunia akan berpengaruh secara cepat terhadap Negara lain di dunia.
Kasus musim semi yang terjadi di Timur Tengah ternyata membawa efek domino yang dampaknya tidak terbayangkan sebelumnya. Berbagai rejim otoriter di Negara-negara Timur Tengah bertumbangan dan akan terus bergulir tanpa dapat dicegah, bahkan Negara Palestina yang sebelumnya sulit untuk mendapatkan eksistensinya mulai diakui oleh berbagai Negara di dunia.
Anthony Giddens (2000) menamakan proses Globalisasi sebagai the runway word. Menurutnya perubahan-perubahan di berbagai bidang khususnya perubahan sosial di suatu Negara akan berpengaruh secara cepat terhadap Negara lain. Hal lain yang pantas kita perhatikan adalah pandangan Kenichi Ohmae (1995) bahwa globalisasi akan membawa kehancuran Negara-negara kebangsaan atau meminjam istilah Rosenau (1990) akan terjadi pegeseran dalam kehidupan kebangsaan, yaitu pergeseran Negara yang berpusat pada Negara kebangsaan kepada dunia yang berpusat majemuk. Bahkan A.M. Hendro Priyono mengatakan bahwa di era Globalisasi Negara-negara yang mengembangkan proses demokrasi akan mendapatkan tantangan yang sangat hebat, terutama terorisme yang menyalahgunakan kesucian agama (2007).
Sinyalemen John Naisbit bahwa di era Globalisasi tersebut akan muncul suatu kondisi yang Paradoks di mana kondisi global diwarnai sikap dan cara berpikir primordial, bahkan akan muncul gerakan âTribalismeâ yaitu suatu gerakan di era global yang berpangkal pada primordial yaitu fanatisme etnis , ras, suku, maupun golongan (Naisbit, 1994). Hal senada juga diutarakan oleh Samuel P Hantington melalui The Clash of Civilization menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan akan terjadinya benturan peradaban (Hantington 1993) dan tidak menutup kemungkinan juga berakibat timbulnya konflik yang bersifat horizontal suatu kondisi yang kini tengah mendera negeri ini.
WAWASAN KEBANGSAAN, JATI DIRI BANGSA DAN GLOBALISASI
Sebagai Negara bangsa yang plural Indonesia tengah berada di pusaran arus Globalisasi yang akan mempengaruhi pola pikir anak bangsa dalam memandang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam era globalisasi di dalamnya melekat proses transformasi sistem nilai yang tidak akan pernah dapat dibendung dan akan terus berlanjut sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Jakob, 1988). Masalahnya sebagai bangsa saat ini Indonesia tengah mengalami krisis kebangsaan yang cukup serius bahkan kronis yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok eklusifisme berdasarkan pada sentiment primordial sehingga pada gilirannya berbagai konflik yang besifat horizontal sering dan cenderung mudah terjadi di seluruh Indonesia. Ditengarai salah satu faktor yang menjadi penyebab timbulnya krisis kebangsaan adalah nilai-nilai yang ada pada Pancasila sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat, Pancasila sekedar formalitas tanpa makna. Dalam konteks ini Pancasila sebagai perekat kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat seharusnya perlu terus ditingkatkan pemahaman dan implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat serta pembentukan jati diri sebuah bangsa. Pancasila beserta nilai-nilainya sebagai pandangan ideologi dan hidup bangsa harus terus diamalkan dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat , sehingga kita dapat membuat konsep kebangsaan yang tepat untuk masa depan.
Konsep kebangsaan menurut Kohn (1984) dinyatakan sebagai bentuk kemauan bersama untuk hidup sebagai bangsa atau suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada Negara kebangsaan. Paham kebangsaan ini didasarkan pada asumsi bahwa lahirnya suatu Negara bangsa di dunia sebenarnya merupakan hasil tenaga yang hidup dalam sejarah. Bangsa terdiri atas golongan yang beraneka ragam dan tidak terumuskan secara eksak. Pada umumnya bangsa memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang membuat berbeda dengan bangsa lain, misalnya persamaan keturunan, bahasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat, tradisi dan agama. Akan tetapi ternyata faktor-faktor obyektif sebagaimana di atas tidak satupun yang merupakan unsur hakiki, sehingga unsur terpenting dalam konsep kebangsaan adalah kemauan bersama untuk hidup secara nyata.
Berdasarkan uraian singkat di atas maka konsep atas bangsa dan kebangsaan dapat disimpulkan bahwa setiap orang akan memiliki rasa dan wawasan kebangsaan sendiri. Pada kenyataannya rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan akan tetapi sulit untuk dipahami, akan tetapi ada getaran hati dan resonansi pikiran antar sesama manusia tatkala rasa kebangsaan itu tersentuh dan terpanggil (Mangunwijaya, 1994). Apa yang diungkapkan oleh Mangunwijaya sebagaimana di atas secara obyektif ada kebenarannya bila kita melihat ada sesuatu yang diklaim oleh Negara lain, misalnya klaim kebudayaan oleh Negara tetangga akan menimbulkan gelombang protes dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia secara spontan tanpa adanya rekayasa politik karena rasa kebangsaan tersentuh dan terpanggil.
Rasa kebangsaan pada hakekatnya merupakan persatuan dan kesatuan secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh melalui sejarah dan aspirasi perjuangan masa lalu serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Oleh karenanya dalam wawasan kebangsaan terkandung adanya tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati dirinya sebagai penjelmaan kepribadiannya (Sumandjoko, 1995). Wawasan kebangsaan mengandung pengertian ; cara dalam melihat keberadaan dirinya yang dikaitkan nilai-nilai dan semangat kebangsaan dalam suatu Negara. Dalam dirinya terkandung suatu makna sebagai kemampuan diri untuk merasa bahwa dirinya adalah bagian integral dari bangsa dan Negara di mana dirinya berada. Semakin mereka mengerti dan mendalami nilai-nilai dan semangat yang telah disepakati bersama dalam suatu Negara serta menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat, maka akan semakin kokoh pula keberadaan bangsa dan negaranya.
Pernyataan Mac . Iver bahwa wawasan kebangsaan itu secara alamiah insklusif melekat dalam suatu masyarakat dalam bentuk solidaritas kesukuan yang kemudian berkembang setelah mendapat pengaruh faktor kebudayaan, pendidikan, bahasa, norma dan gaya hidup masyrakat serta manifestasi keagamaan, dan hal ini menunjukan bahwa setiap masyarakat memiliki potensi dasar wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan Indonesia sendiri sebenarnya sudah mulai muncul sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda 1928 dengan makna untuk satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa sangat jelas menunjukan kesadaran untuk menjadi satu bangsa telah terbentuk jauh sebelum Negara ini diproklamirkan karena akar kebersamaan sebagai bangsa telah tumbuh ratusan tahun sebelumnya dan kemudian termanifestasi melalui Sumpah Pemuda. Agaknya perjalanan sejarah sebuah bangsa yang sangat panjang telah menimbulkan kolektifitas sebagai sebuah bangsa, sehingga proklamasi hanyalah titik kulminasi dari perjuangan sebuah bangsa (Indonesia) di dalam menemukan jati dirinya sebagai sebuah bangsa melalui pembentukan negara. Dalam perjalanan yang sangat panjang itu tertanam nilai-nilai, semangat dan tekad dalam mewujudkan sebuah Negara bangsa yang kemudian kita kenal dengan nama Republik Indonesia.
Nilai-nilai dasar wawasan kebangsaan yang terwujud dalam persatuan dan kesatuan memiliki enam dimensi manusia yang mendasar (Kemendiknas, 2010);
1. Penghargaan terhadap ia harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Tekat bersama berkehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka dan bersatu.
3. Cinta akan tanah air dan bangsa
4. Demokrasi atau kedaulatan rakyat
5. Kesetiakawanan sosial
6. Cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur
Berdasarkan pada asumsi nilai-nilai dasar yang dikemukakan oleh Kemendiknas di atas maka terdapat beberapa makna yang dapat dikemukakan;
KESATUAN POLITIK
Kesatuan politik Indonesia ada pada bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah final sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Aspirasi politik yang ada disalurkan pada saluran-saluran formal yang terwujud dalam partai-partai politik sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Demokrasi merupakan sarana yang dipilih agar semua aspirasi politik dan kepentingan dapat ditampung dan disalurkan. Demokrasi merupakan pilihan yang dianggap paling tepat karena berdasarkan kondisi obyetif Indonesia adalah sebuah Negara yang majemuk sehingga demokrasi diharapkan akan mampu mengatasi berbagai perbedaan yang ada. Demokrasi tidak hanya diharapkan mampu untuk mempesatukan berbagai komponen bangsa, akan tetapi juga akan memberikan insentif bagi pembangunan bangsa di segala bidang. Sayangnya demokrasi yang mulai tumbuh di Indonesia memerlukan biaya politik yang sangat mahal (bahkan tertinggi di dunia) sehingga memakan anggaran belanja Negara yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan yang lebih fatal pola pikir masyarakat digiring ke arah pemikiran yang sesat bahwa demokrasi memang harus seperti itu.
KESATUAN SOSIAL DAN BUDAYA
Kesatuan sosial budaya seharusnya akan memperkaya Indonesia, karena keberagaman ras dan suku bangsa Indonesia demikian banyak sehingga sistem sosial dan budaya yang ada juga sangat beragam. Seharusnya dengan kekayaan budaya yang demikian besar maka Indonesia bisa menjadi Negara yang menarik dari sisi turisme sehingga dapat menjadi salah satu tujuan wisata dunia, meskipun di sisi yang lain keragaman budaya bukannya tanpa resiko yaitu rawan konflik. Akan tetapi kalau kita cerdas mengelolanya maka potensinya justru akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Konflik budaya yang muncul saat ini menurut Anhar Gonggong lebih disebabkan karena komunikasi budaya yang seharusnya terjalin dengan baik tidak terjadi (rendah). Komunikasi budaya harus terus menerus dibina agar konflik yang terjadi di dalam masyarakat bisa dieliminir bahkan dihindari.
Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai etnis jelas memiliki perbedaan kebudayaan dan agar perbedaan kebudayaan ini tidak menimbulkan konflik maka masing-masing pemeluk kebudayaan harus memperkenalkan kebudayaan yang dimilikinya . Melalui cara ini akan menimbulkan rasa saling pengertian antara pemeluk kebudayaan atas perbedaan tersebut. Kebudayaan memiliki peran yang sangat penting dan vital dalam memajukan atau menurunkan kualitas hidup suatu bangsa, untuk itu Indonesia dinilai perlu menerapkan Cross Cultural Fertilization (penyerbukan silang antarbudaya). Pengertian Cross Cultural Fertilization mengacu pada saripati-saripati budaya lokal yang berkualitas dan memiliki nilai dorong kemajuan dapat diserbukan dengan nilai-nilai budaya lain, baik yang terdapat di Indonesia maupun dari manca negara. Diharapkan dengan menerapkan konsep tersebut Indonesia akan memiliki kebudayaan baru yang unggul dan tampil percaya diri menjadi bangsa yang besar dan disegani oleh bangsa-bangsa lain dan yang lebih penting semua anak bangsa akan merasa memilikinya, sehingga pada gilirannya dapat meminimalkan konflik budaya antar sesama anak bangsa.
Indonesia seharusnya perlu belajar dari Negara-negara Asia Timur seperti Jepang, China atau Korea yang berhasil menjadi bangsa yang maju justru karena berhasil memanfaatkan secara optimal unsur-unsur positif yang terkandung dalam budaya mereka. Sebagai contoh misalnya; dalam soal disiplin, masyarakat Jepang sangat menghargai waktu, artinya masyarakat Jepang dapat seperti sekarang ini karena sangat memperhatikan kebudayaan dalam arti nilai, kreatifitas, kesediaan bekerja dan di dalamnya termasuk menghargai waktu. Hal yang sama juga terjadi di China maupun Korea yang akar budayanya berdasarkan pada ajaran Konfusiusnisme mampu mendorong lajunya pembangunan di dua Negara tersebut (Robert N Bellah).
KESIMPULAN
Indonesia memang ditakdirkan sebagai Negara yang plural sebagaimana yang tercantum dalam slogan Bhineka Tunggal Ika. Kebhinekaan merupakan realitas bangsa yang obyektif dan tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Untuk mendorong terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa agar tetap lestari sekaligus agar jati diri bangsa terbentuk maka Kebhinekaan harus dimaknai oleh masyarakat melalui pemahaman multikulturalismedengan berlandaskan spiritualitas. Tanpa spiritualitas masyarakat sulit menerima dan saling memahami perbedaan yang ditemuinya apalagi pengaruh globalisasi telah masuk ke segenap sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bisa mengancam kebaradaan negara kebangsaan.
Agama juga harus mendasari politik, agar politik benar-benar mampu mencapai tujuan sucinya yaitu demi kemaslatan rakyat banyak, akan tetapi institusi agama harus dipisahkan dari politik agar tidak terjadi politisasi agama. Multikulturalisme yang sudah ada sejak dahulu masih sebatas realitas sosial dan belum menjadi sebuah ideologi, hubungan antar kelompok masih terjadi saling hegemoni. Saat Multikutural sudah menjadi sebuah ideologi , pola hubungan pun semestinya bukan invasi lagi melainkan sudah memasuki tahap konvergensi. Ketika bertransformasi masyarakat tidak sekedar tinggal bersama, akan tetapi juga saling memberdayakan. Ayat-ayat suci yang dijadikan dasar-dasar spiritualitas dalam bertransformasi pun hendaknya juga tak hanya dibaca dan dihafalkan, akan tetapi harus nampak dalam sejarah dan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian semua anak bangsa yang tinggal di dalam rumah besar yang bernama Indonesia akan merasa nyaman dengan kebersamaan dan saling memahami satu sama lain.
*) Disampaikan dalam Seminar Sehari Karakter Bangsa dan Upaya Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa
**) Dosen FISIP UNTAG Surabaya
Sumber: http://www.achluddin.com/2014/04/negara-bangsa-dan-globalisasi.html