Analisa (Medan) Sabtu, 24 Mei 2014 |
Oleh: Jenny Gichara
Gadis kecil lugu itu bernama Tiur dan masih berumur 7 tahun. Keluarganya baru pindah dari kampung menuju daerah pecinan di salah satu kota besar di Sumatera Utara. Teman-temannya kurang menyambut baik kehadirannya dan bahkan mengejek tanpa sebab. Sadar atau tidak, perang SARA mulai ditabuh. Ejekan seperti Batak makan orang, miskin, gembel, bodoh, malas, hampir setiap hari mewarnai masa kecilnya.
Awalnya ia tidak mau menghiraukan dan membalasnya. Tapi tiba-tiba saja seseorang datang memanfaatkan situasi, dan Tiur langsung ikut-ikutan mengulangi kata-kata yang diucapkan orang itu tanpa mengerti: dasar China, komunis, gombak dan lainnya sehingga memperdalam kebencian dalam kurun waktu yang lama.
Saat Tiur masih di kampung, ia terkejut melihat tukang bakmi langganannya pintar berbahasa Batak. Teman-teman Tionghoanya santun berbahasa Batak dengan bahasa pengantar bahasa Batak pula. Bahkan ketika pindah ke kota Siantar,ia terkaget-kaget lagi melihat orang Tionghoa peternak babi setiap hariberbicara dengan logat Batak yang khas.
Teman sekelas Tiuri SMP, Yap Che Chin,awalnya tidak mau bersentuhan dengannya. Entah prasangka apa yang ada di otaknya sehingga ia bertindak begitu. Mungkin ia mengira Tiur penyakitan dan kotor. Padahal, bila dilihat sepintas, kulit Tiur lebih mulus dibanding Che Chin. Tapi setelah mengetahui kemampuan Tiur, Che Chin mulai mendekat dan minta diajari untuk pelajaran tertentu. Kenapa harusmembenci? Mungkin ini yang disebut penanaman stereotip yang salah dari orangtua terhadap anak-anaknya mengenai suku-suku tertentu sehingga menimbulkan prasangka buruk.
Di SMA, Tiur sangat akrab dengan dua gadis Tionghoa yang cantik, Tan Liu Sien dan Chen Pik Ling. Hingga dewasa mereka terus bersahabat tanpa curiga. Uniknya Liu Sien juga bisa berbahasa Batak dengan lancar. Ketika kuliah, Tiur merasa aneh melihat ada orang Tionghoa masuk di perguruan tinggi negeri. Kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari.
Di kampus, Tiur berkenalan dengan Liem Wie Han. Han akrab bergaul dengan mahasiswa pribumi, sedangkan yang lain kurang akrab. Belakangan, Tiur tahu bahwa Han sering di-bully dan dipalak oleh mahasiswa pribumi. Teman-teman Han sangat melindungi Han. Keterbelalakan Tiur belum berhenti juga ketika kakak tertuanya menikah dengan gadis Tionghoa dan kini sudah dikaruniai seorang putri cantik meskipun awalnya keluarganya kurang setuju. Tidak ada yang salah bukan?
Saat bekerja di Jakarta, Tiur terheran-heran melihat orang-orang Tionghoa sudah tidak tahu asal-usulnya, kurang fasih berbahasa Tionghoa ,dan menyebut diri mereka orang Indonesia. Ini sungguh pengalaman luar biasa untuk menumbuhkan fertilisasi antarbudaya dalam memperkokoh nasionalisme.
Atasan Tiur, seorang wanita Tionghoa yang gesit dan enerjik, selalu mengajarkan âcash flowâ padanya. Etos kerjanya yang hebat setiap hari menginspirasi Tiur. Atasannya juga terkagum-kagum dengan kerapian, kegigihan, kejujuran, keterusterangan, dan disiplin Tiur meskipun ia seorang pribumi.Lalu, apa yang salah antara pribumi dan nonpribumi selama ini?
Fertilisasi/Penyerbukan Silang
Fertilisasi atau serbuk silang merupakan upaya memadukan berbagai keunggulan budaya untuk memajukan kebudayaan bangsa. Kita tahu bahwa setiap suku memiliki keunggulan budaya tersendiri. Jika keunggulan dari kelompok etnik ini diramu menjadi serbuk silang antarbudaya tentu dapat menjadi modal kultural yang mampu mendorong kemajuan bangsa dan sekaligus memperkokoh nasionalisme.
Serbuk silang bisa timbul ketika masyarakat lokal melakukan perdagangan dengan masyarakat mancanegara, misalnya orang Tiongkok, Persia, dan India. Fertilisasi silang antarbudaya tidak saja terjadi dalam perkawinan,tapi juga dalam arsitekturbangunan peninggalan budaya masa lalu, seperti bangunan candi yang dipengaruhi unsur Hindu atau Budha.Penyerbukan unsur lokal dan luar menghasilkan peradaban unggul yang memesona masyarakat internasional. Bangunan peninggalan kolonial tersebar di kota-kota besar menjadi tempat pusaran ekonomi lokal ke pusat dengan berbagai percampuran budaya.
Di Medan, salah satu peninggalan bersejarah yang bernilai fertilisasi silang antarbudaya adalah Istana Maimoon dan Masjid Raya. Bangunan Istana Maimoon merupakan serbukan beberapa kebudayaan, seperti Melayu, Persia, dan Barat. Bangunan Masjid Raya adalah serbukan dari budaya Barat dan Persia yang sekarang masih terus dikagumi. Mansion Tjong A Fie menunjukkan kultur Timur Asing (Tionghoa) sebagai bagian dari mosaik pluralitas di Medan.
Fertilisasi silang budaya kuliner juga berasal dari Tiongkok, India, Timur Tengah, dan Barat yang terserbuk dengan citarasa lidah lokal para kuliner pribumi. Wayang, serbukan unsur lokal dan Hindu dipakai oleh pendakwah Islam Jawa untuk menyebarkan Islam di Jawa berbasis budaya setempat.
Serbuk silang antarbudaya masa lalu menunjukkan budaya lokal yang adaptif terhadap budaya nonlokal.Hal itu memperlihatkan budaya bangsa ini sangat lentur bergabung dengan tradisi manapun. Sikap lentur serbuk silang antarbudaya ini justru tidak melemahkan budaya lokal, melainkan menjadi modal kuat bagibudaya bangsa yang plural.
Akar Penyebab
Sayangnya, fertilisasi silang antarbudaya bangsa kita mulai melemah ketika ekspansi kolonial memasuki wilayah nusantara. Kekuasaan penjajah menata masyarakat berdasarkan garis etnik dan ras.
Pembagian golongan penduduk menurut Dr. Snouck Hurgronje di masa pemerintahan Belanda seperti: golongan Eropa, Timur Asing, Tiongkok, dan pribumi menjadi cikal bakal kecurigaan terhadap kaum etnis Tionghoa. Secara hirarkhis, kedudukan etnis Tionghoa dibuat lebih tinggi daripada golongan pribumi dan mendapat perlakuan istimewa dari kaum penjajah sehingga menimbulkan eksklusivitas dan kecemburuan sosial. Terlebih di tahun 60-an, masyarakat sering mendengungkan istilah komunis bagi orang Tionghoa. Hal itu semakin hari memperkeruh suasana.
Dengan kebijakan kolonial, orang Tionghoa diasingkan dan dijauhkan tempatnya dari masyarakat lokal sehingga mengalami ekslusi sosial. Ketika ekslusi sosial diberlakukan, timbullah prangsangka dan stereotif terhadap orang Tionghoa. Penyerbukan silang antar budaya yang terjalin lama seakan tidak pernah terjadi.
Relasi antara orang Tionghoa dan masyarakat lokal menjadi ajang permusuhan yang diwarnai prasangka. Di samping itu, perlakuan etnis Tionghoa sering memandang sebelah mata kaum pribumi sangat memupuk kebencian. Padahal di era serba global ini, kita perlu mengganti kebencian dengan saling menghargai. Semakin dewasa, kekuasaan semakin membesar dan tanpa dapat dikendalikan menjangkau sampai ke pedesaan. Kekuasaan menjangkau provinsi, kabupaten, kecamatan dan terus menembus pedesaan tidak mensinergikan budaya lokal, tetapi justru semakin melemahkan energi budaya lokal.
Dengan berlakunya instrumen politik suku, agama, ras dan antar golongan merupakan contoh dari ancaman kekuasaan.
Untuk menggalang kekuasaan agar tetap kokoh, dipancangkanlah keseragaman budaya. Homogenisasi budaya membuat budaya lokal tidak mempunyai ruang gerak untuk mengespresikan diri. Karena kekuasaan menegasikan budaya lokal, energi kultural pun menghilang.
Dengan keadaan demikian, tidak ada muncul fertilisasi silang antarbudaya karena ruang publik diselimuti penyeragaman politik yang mendahulukan keamanan dan ketertiban. Akibatnya, kebudayaan mandul karena daya pengaruhnya dikurung dalam sangkar kekuasaan. Makna kebudayaan diperkecil menjadi tarian dan kesenian. Kebudayaan dianggap sebagai asesoris kultural yang tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah masyarakat.
Itulah yang terjadi di tengah masyarakat kita. Padahal, kita tahu pasti bahwa nasionalisme dapat terbangun dengan kekuatan budaya unggul yang saling berpadu.
Lalu, setelah Indonesia merdeka, Indonesia lebih banyak mencurahkan perhatian pada politik, sedangkan masalah budaya tidak mendapat tempat. Di awal berdirinya republik, elit politik disibukkan dengan penataan eksperimen demokrasi. Kebebasan pers, kebebasan berserikat dan partisipasi publik sangat kuat dirasakan. Tetapi di tengah suasana eksperimen demokrasi, tidak ada dialog budaya untuk dijadikan pedoman. Inilah yang menjadi penyebab kesenjangan yang bertahun-tahun tak pernah diluruskan.
Bila ditelusuri lebih jauh, setiap kelompok etnik memiliki nilai budaya unggul. Ada kelompok etnik yang bekerja keras, pandai berdagang, santun, berterus terang, ulet, dan gemar bekerja keras. Apabila keunggulan kelompok etnik ini diramu menjadi serbukan silang antarbudaya niscaya akan menjadi modal kultural mendorong kemajuan bangsa. Perhatikan nilai positif antarsuku dan jangan melihat kekurangan saja. Setiap keunggulan memperkaya keberagaman/perbedaan. Perbedaan itu indah dan saling melengkapi. Bila antarsuku saja tidak bisa akur, bagaimana mungkin fertilisasi dapat terwujud?
Bagaimana Seharusnya?
Menurut Eddie Lembong, Ketua Yayasan Nabil sekaligus pebisnis obat, keberagaman budaya yang dimiliki Indonesia bisa menjadi modal untuk mengubah kehidupan rakyat Indonesia menjadi lebih baik dan maju. Etos kerja warga Tionghoa Indonesia yang ulet dan gigih, misalnya, bisa diadopsi oleh budaya lain yang tidak memiliki kebiasaan itu. Beliau mengatakan sikap optimis dan pesimis terhadap fertilisasi. Hal ini memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menyelenggarakan perbaikan mutu kebudayaan Indonesia.
Saat ini, kita patut bersyukur memiliki pemimpin demokratis yang semakin terbuka dari tahun ke tahun sehingga kaum minoritas diperhatikan. Kita haraptidak ada lagi tembok pemisah yang menimbulkan kesenjangan sosial.
Kita berdoa kiranya Indonesia tetap mendapat pemimpin demokratis yang terus menghargai keunggulan budaya dalam keberagaman untuk memperkokoh kesatuan dan nasionalisme.
Saya sendiri baru beberapa tahun ini menyaksikan pagelaran barongsai dan liong secara utuh di sekolah dan mal-mal. Juga baru pertama kali menyaksikan perjalanan Pindapata dan tata ibadah agama Budha yang transparan karena selama ini dianggap tabu. Semuanya menarik untuk dicermati karena betapa kayanya budaya bangsa ini.
Terakhir, Budi Agustono dan Heristina Dewi,Pengajar Jurusan Etnomusikologi FIB USU, menyebutkan bahwa modal kultural yang selama ini terbenam secara berkelanjutan digali, diseleksi dan dijadikan referensi dalam pembuatan kebijakan lokal untuk mensejahterakan masyarakat.
Penyerbukan silang antarbudaya bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Saat dulu dan sekarang pun sudah berjalan. Kita harapkan hal itu berjalan mulus tanpa prasangka sehingga menjadi modal persatuan bangsa dan berujung pada nasionalisme. Jayalah selalu penyerbukan silang! ***
Penulis adalah pengajar dan pengamat sosial.
Sumber:
http://analisadaily.com/news/read/penyerbukan-silang-antar-budaya-dan-nasionalisme/32325/2014/05/24